RSS

Beradab

Sunday, November 16, 2008

Dialog Membangun Peradaban
Oleh Benny Susetyo Pr

Program Bilateral Interfaith Dialogue dilaksanakan 12-14 Oktober 2008 di Beirut, Lebanon. Temanya, ”Promoting Interfaith Dialogue among Plural Society”. Dialog ini terselenggara atas kerja sama Deplu, KBRI Beirut, dan Dar El Fatwa Lebanon di bawah pengawasan Perdana Menteri HE Mr Fuad Siniora.

Pertemuan antartokoh agama ini memberi inspirasi bagi bangsa ini untuk saling belajar bagaimana memahami berbagai sekte dan aliran keagamaan. Dan yang penting bagaimana perbedaan bisa melahirkan tata hidup yang berdampingan dalam suasana damai dan saling menghormati.

Indonesia dan Lebanon

Dari pengalaman dialog antaragama di Indonesia, bisa dipetik beberapa hal positif. Dalam 10 tahun terakhir, ada perkembangan positif terkait kerukunan umat beragama. Salah satu faktor penting adalah adanya komunikasi lebih intensif antarpemuka agama. Di Indonesia, hal ini didukung identitas nasional, Pancasila, sebagai komponen pemersatu bangsa yang majemuk.

Meningkatnya peran pemuka agama dalam mencegah konflik dapat dilihat melalui berbagai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Forum ini selain membahas tentang agama juga hal-hal aktual terkait kesejahteraan umat beragama.

Belajar dari fenomena agama di Lebanon, bisa dilihat umat beragama yang umumnya menghargai proses dialog dan berkomitmen untuk hidup damai berdampingan. Artinya, meski ada konflik, bukan disebabkan perbedaan agama yang terdiri dari 18 sekte. Konflik terjadi sebagai bagian pertentangan politik.

Semasa perang saudara (1975- 1990), tak ada perusakan rumah ibadah. Sistem pembagian kekuasaan berdasarkan sekte agama diakui merupakan salah satu faktor yang melemahkan persatuan nasional Lebanon. Hal ini diperparah pengaruh konflik regional yang memengaruhi situasi domestik Lebanon.

Ada hal-hal yang menjadi perhatian, antara lain perkawinan lintas agama dan penyebaran agama di Indonesia. Diakui, dua hal itu sering menimbulkan gesekan antarumat beragama. Meski demikian, Pemerintah Indonesia mencoba meminimalkan gesekan itu melalui berbagai peraturan. Sementara dari Lebanon menyampaikan berbagai cara untuk mempererat hubungan antarumat beragama melalui pendidikan dan kegiatan keagamaan, termasuk penetapan hari besar keagamaan yang diperingati bersama Muslim dan Kristen.

Pengalaman Indonesia dan Lebanon dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama ada kesamaan dan perbedaan. Dari sana kedua negara bisa belajar bagaimana membangun komunikasi antartokoh agama dalam menciptakan perdamaian.

Peran tokoh agama penting bagi terciptanya kerukunan di antara pemeluknya. Peran mereka juga urgen dalam menciptakan kesadaran umat beragama mencintai bangsanya.

Peran agama

Peran agama amat penting sebagai penyeimbang dua poros utama, negara dan pasar. Itu dikatakan karena selama ini agama sering terjebak permainan negara dan terjerumus logika pasar kapitalisme yang kerap mencelakakan. Peran agama harus dikembalikan sebagai penyeimbang dua kekuatan itu. Itulah yang dimaksud upaya merenda habitus baru bangsa dan merumuskan kultur bangsa yang beradab.

Orientasi hidup beragama tidak sekadar mencari kerukunan antaragama satu dan lain setelah itu everything is over. Justru setelah kerukunan agama berlanjut, hal itu menjadi modal bangsa untuk membangun dan mencari keseimbangan di antara posisi negara dan pasar, antara perancang kebijakan politik dan pelaku ekonomi. Jadi masalahnya adalah bagaimana kerukunan hidup beragama bisa menjadi modal dasar untuk membangun cara pandang, merasa, dan perilaku sesuai kemanusiaan dan keadilan.

Agama akan menjadi roh pembebas masyarakat dari ketakutan akan represi negara maupun ketertindasan eksploitasi ekonomi. Agama tidak menjadi orientasi hidup, tetapi untuk menjadikan hidup lebih berorientasi pada kemanusiaan.

Hingga kini, kita menghadapi masalah: agama masih sering dijadikan instrumen kekuasaan daripada sebagai pewarna dan pengarah. Inilah yang membuat agama sering mandul dalam diri para pengkhotbah dan pemeluknya. Sebab, ia tidak pernah dibatinkan dalam perilaku, tetapi lebih dijadikan komoditas politik dan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek dan amat sempit. Orientasi beragama bukan untuk mengembangkan keadaban publik, tetapi lebih pada bentuk lahiriah saja.

BENNY SUSETYO PR Sektaris Eksekutif Komisi HAK KWI

[Kompas, 14 November 2008]
Read more!

Dialog

Dialog Islam-Kristen
Oleh Zuhairi Misrawi

Dialog Islam-Kristen digelar di Vatikan, 4-6 November 2008. Setelah kunjungan Raja Abdullah ke Vatikan beberapa saat lalu, dialog itu akan memberi harapan baru tentang hubungan antar- agama yang kian toleran.

PBB juga memuji inisiatif Raja Abdullah dari Arab Saudi yang menggelar dialog antaragama tingkat dunia, Rabu dan Kamis (12-13/11) di Markas Besar PBB di New York.

Arab Saudi dan Turki

Betapa indahnya jika agama Islam-Kristen membuka lembaran baru untuk sebuah peradaban manusia yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan membangun budaya saling menghargai. Selama ini, hubungan di antara keduanya kerap diisi berbagai peristiwa yang seolah menggambarkan suasana konfliktual. Peristiwa sekecil apa pun jika terkait kedua agama itu, lalu digambarkan menjadi masalah yang dapat membangkitkan memori ”perang salib” yang tragis.

Setidaknya ada dua kelompok yang saling berkontestasi untuk menghadirkan makna dan nuansa dalam relasi dua agama samawi terbesar itu.

Pertama, mereka yang memandang toleransi sebagai pilihan final dan manifestasi titik temu (common word). Mereka belajar dari masa lalu dan mencoba merebut kembali makna toleransi yang ada dalam agama masing-masing. Kelompok ini diwakili Vatikan dan pemimpin dunia Islam, di antaranya Raja Abdullah (Arab Saudi) dan Thayeb Erdogan (Turki).

Keterlibatan Arab Saudi dan Turki ini menarik perhatian karena keduanya merepresentasikan dua arus politik berbeda. Arab Saudi merepresentasikan negara-agama, yang melandaskan politiknya kepada syariat Islam. Sedangkan Turki dikenal sebagai negara sekuler, yang terlepas dari diktum keagamaan dalam ranah politik. Namun, keduanya mempunyai titik temu untuk membangun kesepahaman dan dialog yang konstruktif dengan Kristen. Karena itu, arus toleransi merupakan wajah mayoritas kalangan Muslim dan Kristen.

Kedua, mereka yang beranggapan, konflik antar-agama merupakan ”titah” yang tidak akan pernah terselesaikan. Harus diakui, mereka yang berpandangan seperti ini tumbuh subur dalam setiap agama (Karen Armstrong, 2000). Mereka, utamanya kelompok fundamentalis-ekstremis, yang senantiasa memandang yang lain sebagai musuh. Mereka menganggap hanya ada satu jalan untuk mengatasi hubungan antar-agama, yaitu perang atau kekerasan. Meski kelompok ini kecil, ekspresi keagamaan mereka lantang. Bahkan, jika dibandingkan kelompok pertama, kelompok terakhir ini jauh lebih militan dan artikulatif. Mereka mampu mengapitalisasi semua isu untuk disimpulkan sebagai konflik antar-agama.

Pemandangan itu kian mengukuhkan pentingnya agenda dialog Islam-Kristen. Inisiatif untuk menemukan titik temu, sebagaimana diinisiasi Vatikan harus terus dilakukan guna menarik simpati lebih besar dari umat masing-masing, bahwa dialog untuk mencari titik temu merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan kehidupan yang toleran. Para tokoh agama dan tokoh politik mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya untuk menginspirasikan kepada pengikutnya perihal pentingnya toleransi untuk membangun sebuah masyarakat yang adil, maju, dan beradab.

Tak kalah penting, setiap agama harus mampu mengantisipasi berbagai kecenderungan ekstremitas yang kian menguap, baik disebabkan faktor internal agama itu sendiri maupun faktor ketidakadilan global.

Tariq Ramadan yang turut hadir dalam dialog itu mengemukakan, masalah utama yang dihadapi Islam dan Kristen adalah hilangnya kesadaran dan integritas etik. Teologi kedua agama samawi itu harus menjawab masalah krusial, terutama dalam menjawab dua masalah besar, ”krisis ekonomi” dan ”logika perang” yang telah menghancurkan kemanusiaan universal (The Guardian, 6/11).

Tantangan

Dogmatisme yang melekat dalam agama merupakan tantangan tersendiri karena agama dijadikan garansi teologis bagi masalah internal agama yang bersifat eksklusif. Dogmatisme akhirnya menjadi kendala utama bagi toleransi (Abid al-Jabiry, 2002).

Adapun masalah yang menyangkut ruang publik kerap dilupakan penganut kedua agama itu. Di sini, Islam-Kristen harus mampu menyentuh jantung persoalan kemanusiaan yang paling subtil.

Tentu, dialog yang diprakarsai Vatikan sejatinya dapat memberikan nilai tambah bagi dialog serupa di Tanah Air. Jika di hulunya sudah menginisiasi sebuah dialog yang konstruktif bagi kemanusiaan, hilirnya pun harus menangkap makna itu untuk mengukuhkan spirit kebangsaan.

Diperlukan dialog-dialog teologis yang memungkinkan lahirnya teologi bagi problem nyata masyarakat, di antaranya yang terkait kemiskinan, lingkungan, pendidikan, dan kesehatan.

Apalagi dalam konteks historis, kita mempunyai paradigma kebangsaan yang kukuh, khususnya saat Bung Karno merumuskan diktum ”ketuhanan” dalam Pancasila. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Bung Karno menjelaskan perihal ”ketuhanan” sebagai ”ketuhanan yang berkeadaban”.

Di situ, paradigma ketuhanan bukan dalam konteks menebarkan kekerasan, tetapi justru dalam rangka mengukuhkan perdamaian dan toleransi.

Zuhairi Misrawi Direktur Moderate Muslim Society; Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia Bidang Hubungan Antaragama

[Kompas, 14 november 2008]
Read more!

Kalah

Belajar Mengaku Kalah
Oleh Salahuddin Wahid

Ratusan juta orang di seluruh dunia mengikuti proses Pemilihan Presiden AS 2008 melalui televisi. Mendengar pidato kekalahan McCain, semua takjub. Mengagumi kebesaran jiwanya dan terpesona isi pidato kekalahannya yang menyentuh hati. Substansi pidato itu tidak kalah dibandingkan pidato kemenangan Obama.

Kata McCain, ”Malam ini amat berbeda dengan malam-malam sebelumnya, tidak ada dalam hati saya, kecuali kecintaan saya kepada negeri ini dan kepada seluruh warga negaranya, apakah mereka mendukung saya atau Senator Obama. Saya mendoakan orang yang sebelumnya adalah lawan saya, semoga berhasil dan menjadi presiden saya.”

Al Gore ”versus” Bush

Penghitungan suara Pilpres 2000 (Wapres Al Gore melawan Bush) amat dramatis. Hasil penghitungan suara secara nasional hampir selesai dan siapa pemenangnya bergantung pada penghitungan suara di Florida, yang gubernurnya adalah adik capres Bush. Suara Bush: 2.909.171, suara Gore: 2.907.387. Selisihnya amat kecil: 1.784 suara.

Tim kampanyenya berhasil mencegah Al Gore yang sedang dalam perjalanan untuk mengakui kekalahan di depan publik. Mereka berusaha keras agar dapat di lakukan penghitungan ulang di seluruh Florida. Maka, dimulailah proses hukum yang menegangkan, yang memakan waktu beberapa pekan hingga melibatkan MA Florida dan MA Amerika Serikat.

Pemilihan menggunakan mesin yang ternyata hasil coblosannya sering tidak jelas kalau tidak cukup kuat menekannya. Perdebatan terjadi tentang standar coblosan yang bisa diakui sebagai tanda bahwa si pemilih telah menentukan pilihannya.

Sempat dilakukan penghitungan ulang untuk sejumlah county dan selisih suara menurun tinggal 327 suara. Terjadi tekanan massa pendukung Bush untuk menghentikan proses penghitungan ulang di sebuah county. Lalu, ada perintah untuk menghentikan penghitungan ulang.

Tim Al Gore masih tetap ingin berjuang. Al Gore menelepon ketua tim untuk menghentikan perjuangan itu. Salah satu kalimat Al Gore amat menarik: ”Kalaupun aku menang (dalam penghitungan suara), rasanya aku tidak menang (dalam pengertian lebih luas). Ayahku mengatakan bahwa kekalahan dan kemenangan itu dibutuhkan untuk memuliakan jiwa kita.”

Lalu, Al Gore tampil dalam acara TV bersama Bush yang ada di tempat lain untuk mengakui kekalahan dan menyampaikan selamat kepada Bush. Tidak ada protes atau demo pendukung Al Gore. Ternyata Al Gore betul, dia menerima hadiah Nobel, sedangkan Bush dianggap sebagai salah satu Presiden AS terburuk.

Jesse Owens dan Hitler

Ada kisah menarik pada Olimpiade 1936 di Berlin tentang Jesse Owens, atlet terbesar AS berkulit hitam, pemegang rekor dunia untuk lari 100 meter dan 200 meter. Jerman mempunyai atlet hebat yang bisa menjadi saingan berat Jesse Owens.

Pertarungan antara atlet Jerman dan Owens akan menjadi atraksi paling bergengsi. Karena itu, Hitler memompa semangat atlet Jerman itu. Hitler yang rasis menyatakan, Owens seorang negro yang tidak sepadan dengan atlet Jerman yang berdarah Aria, ras terunggul di dunia. Dia mengatur agar penonton mendukung si atlet Jerman dengan menyoraki Owens agar emosinya terganggu dan kalah.

Ternyata Owens tampil sebagai juara. Hitler tidak dapat menerima kekalahan itu dan tidak bersedia memberikan selamat kepada Owens. Si atlet Jerman yang kalah ternyata bukan rasis dan punya sportivitas tinggi. Dia berani menghampiri dan memberikan selamat kepada Owens di depan Hitler dan puluhan ribu penonton.

Kondisi Indonesia

Bandingkan tiga hal di bagian awal tulisan ini dengan apa yang terjadi di Indonesia. Pidato kekalahan memang belum menjadi tradisi di sini. Namun, mengucapkan selamat meski tidak langsung bertemu, cukup dengan telepon atau melalui pers, sudah merupakan suatu teladan yang baik bagi masyarakat.

Saya tidak tahu apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah sempat bertemu dan berjabat tangan dengan Megawati Soekarnoputri pasca-Pilpres 2004. Namun, kita tahu, Taufik Kiemas telah menjalin komunikasi langsung dengan Presiden Yudhoyono. Pak Habibie, tanpa beban datang ke Istana menemui Presiden Yudhoyono. Gus Dur menghadiri upacara peringatan 17 Agustus 2008 dan bersilaturahim Idul Fitri ke Istana Merdeka.

Yang paling parah adalah terjadinya konflik fisik di antara pendukung pasangan calon gubernur di Maluku Utara (Malut). Tak terdengar adanya upaya dari kedua cagub untuk meredam emosi para pendukung. Meski menganggap tidak sah penetapan dan pelantikan Gubernur Malut oleh Mendagri, akan baik jika pihak yang kalah dengan legowo menerima kekalahan dan mengucapkan selamat kepada pemenang. Setelah itu melakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok pendukung.

Menanamkan kesadaran

Kisah Owens dan Al Gore saya dapatkan melalui film. Perlu digali dan disosialisasikan kisah tentang mereka yang kalah bertanding dalam bidang apa pun (politik, olahraga, dan ilmu) yang menunjukkan bagaimana cara menjadi pihak yang kalah secara terhormat, terutama di Indonesia.

Adang Daradjatun berani mengakui kekalahannya dalam pemilihan gubernur DKI di depan pers. Seusai menghadiri sidang untuk mendengarkan pembacaan putusan penolakan MK terhadap gugatan pasangan Wiranto-Wahid tentang hasil penghitungan suara KPU, di depan wartawan saya menyampaikan selamat kepada pasangan SBY-JK dan Mega-Hasyim. Tentu masih banyak lagi contoh lainnya.

Sejak kecil perlu ditanamkan kesadaran, jika sudah kalah dan mengaku kalah, itu terhormat, tidak memalukan atau mencemarkan nama baik. Tindakan itu justru menunjukkan kebesaran jiwa, kedewasaan, dan sikap ksatria. Bayangkan apa jadinya jika Al Gore tetap ngotot dan tidak mau mengaku kalah.

Baik sekali jika dalam Pilpres 2009, capres yang kalah menyampaikan pidato kekalahan. Lalu, tradisi itu diikuti cagub dan cabup. Namun, tradisi itu perlu diikuti proses pemilihan calon yang pertimbangan utamanya bukan uang dan pelaksanaan pemilihannya bersih dan jurdil. Tanpa itu, pengakuan kalah kurang bermakna.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

[Kompas, 15 November 2008]
Read more!

Ortodok

Ortodoksi Sebagai Sebuah Konstruksi
Oleh Ulil Abshar Abdallah

Dalam hampir setiap agama, kita akan jumpai apa yang disebut dengan “ortodoksi”, yakni suatu ajaran standar yang dianggap mewakili kebenaran dalam agama tersebut. Secara harafiah, ortodoksi adalah ajaran atau dogma yang benar, berasal dari kata Yunani “orthodoxos”. “Orthos” artinya lurus atau lempang. “Doxa” artinya pendapat atau dogma.

Lawan dari ortodoksi adalah heterodoksi, yakni pendapat atau dogma “lain” (hetero) yang dianggap menyimpang dari ajaran yang benar dan lempang. Dalam hampir setiap agama selalu ada ketegangan, bahkan kerapkali juga konflik dan perang, antara ortodoksi dan heterodoksi.

Kenapa muncul ortodoksi? Kenapa pula muncul heterodoksi? Jika agama berasal dari kitab suci atau ajaran yang sama, kenapa mesti ada dualisme antara ajaran dan dogma yang benar dan dogma yang sesat?

Ortodoksi muncul karena setiap agama akan cenderung mengalami pelembagaan, institusionalisasi. Apa yang saya sebut sebagai pelembagaan di sini bukan sekedar munculnya lembaga-lembaga yang secara fisik bisa kita lihat, seperti kantor-kantor yang mengurus perkara agama. Pelembagaan di sini lebih menyangkut pengertian yang lebih abstrak, yaitu proses standardisasi ajaran dan dogma yang oleh sekelompok tertentu dianggap mewakili kebenaran dalam agama bersangkutan. Setelah standardisasi itu terjadi, maka dogma-dogma lain akan dianggap menyimpang, sesat, dan kadang juga berbahaya, karena itu harus pelan-pelan disingkirkan.

Ortodoksi biasanya lahir belakangan, setelah pendiri atau pembawa agama bersangkutan sudah tidak ada lagi. Pada fase perdana, terutama saat pendiri atau pembawa agama itu masih hidup, biasanya belum muncul perbedaan yang tajam di antara para pengikutnya. Setelah pendiri/pembawa agama itu tidak ada, biasanya akan muncul sejumlah interpretasi yang berbeda-beda. Keragaman interpretasi ini kerapkali terkait dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak selalu berhubungan dengan agama. Suatu interpretasi tidak pernah bebas dari konteks tertentu dan kepentingan tertentu pula. Keragaman ini kerapkali juga menimbulkan bentrok antara kelompok-kelompok yang membawa interpretasi yang berbeda-beda itu. Dalam beberapa kasus, keragaman interpretasi kadang-kadang mengganggu ketertiban sosial. Bagi seorang penguasa yang hendak membangun keterbitan masyarakat, keragaman interpretasi dalam agama ini bisa menjadi ancaman. Oleh karena itu, seorang penguasa politik biasanya memiliki kepentingan untuk menyeragamkan pendapat, sebab keseragaman akan lebih menjamin ketertiban.

Bagaimana keseragaman ini diperoleh? Di sinilah muncul proses standardisasi yang sudah saya sebut di atas. Proses ini berlangsung agar pendapat yang berbagai-bagai tentang suatu masalah bisa ditertibkan. Dengan memakai standar tertentu, sejumlah orang yang dianggap ahli dan kompeten melakukan seleksi mana pendapat yang sesuai dengan standar itu, dan mana yang tidak. Pendapat-pendapat yang dianggap mewakili kebenaran agama bersangkutan diresmikan sebagai dogma ortodoks. Dogma-dogma yang tidak sesuai dengan standar tersebut dianggap menyimpang; itulah dogma heterodoks.

Dalam konteks Islam, proses semacam ini bisa kita lihat dengan jelas. Pada zaman Nabi sendiri, kita tidak pernah menjumpai akidah yang disebut sebagai Ahlussunnah wal Jamaa’h atau dogma Sunni. Kelompok ini pun muncul jauh setelah generasi Nabi. Pada zaman Nabi, banyak hal yang berkaitan dengan agama masih bersifat “bahan mentah”. Bahan mentah itu tercermin dalam teks-teks sebagaimana kita jumpai dalam Quran atau ucapan Nabi. Bahan mentah itu kita jumpai pula dalam contoh dan teladan yang pernah diberikan oleh Nabi, apa yang sering disebut sebagai “sunnah” atau tradisi.

Teks-teks itu mengandung banyak kemungkinan interpretasi. Oleh karena itu, dari teks yang sama, bisa muncul pelbagi pandangan, pendapat, dan aliran. Dengan prosedur tertentu, kelompok yang disebut Sunni merumuskan dogma tertentu yang dianggap benar. Itulah yang disebut sebagai “dogma kelompok yang selamat” (‘aqidat al-firqa al-najiya).

Tetapi, ortodoksi tidaklah bersifat tunggal. Dalam setiap agama selalu ada banyak ragam ortodoksi. Setiap kelompok berusaha merumuskan sejumlah dogma yang mereka anggap tepat dan benar. Dalam Islam, agama yang saya ketahui dengan baik, kita jumpai banyak ragam ortodoksi. Ada ortodoksi yang dikembangkan oleh kelompok Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan seterusnya. Apa yang dianggap benar dalam dogma Sunni belum tentu benar dalam pandangan orotodksi yang lain, misalnya Syi’ah atau Mu’tazilah.

Yang perlu kita lihat juga, apa yang disebut sebagai ortodoksi tidak sebatas pada dogma yang berkaitan dengan aspek-aspek teologis. Ortodoksi juga berlaku dalam hal-hal yang berkenaan dengan ritual (‘ibadah) atau cara bertindak yang benar menurut agama (moralitas). Dalam Islam, kita kenal suatu disiplin kajian yang disebut dengan fiqh, yaitu hukum yang mengatur tindakan sehari-hari seorang yang beriman. Sebagaimana ada banyak ragam ortodoksi pada level akidah atau dogma, begitu juga ada banyak ragam ortodoksi pada level fiqh. Dari teks yang sama, yaitu Quran dan hadis, muncul banyak interpretasi dalam bidang hukum. Masing-masing mazhab mencoba melakukan standardisasi atas pelbagai ragam pendapat itu dengan cara menyeleksi mana pendapat yang sesuai dengan standar tertentu dan mana yang tidak. Lahirlah sejumlah mazhab dalam Islam. Sekurang-kurangnya, kita kenal lima mazhab yang populer di masyarakat Islam sekarang ini: mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali dan Ja’fari. Dalam masing-masing mazhab, terdapat ortodoksi tertentu. Belum tentu pendapat yang dianggap ortodoks dalam mazhab tertentu adalah benar alias ortodoks dalam mazhab yang lain.

Setiap aliran dan mazhab tentu berpandangan bahwa dogma dan pendapat yang mereka kemukakan adalah konsisten dengan teks fondasional dalam agama, yakni, dalam konteks Islam, Quran dan sunnah. Sebagaimana sudah saya katakan, dari teks yang sama dalam sebuah agama, bermunculan interpretasi yang berbeda. Suatu interpretasi tertentu boleh saja dianggap tak konsisten atau malah menyimpang dari teks fondasional, tetapi kelompok yang mengajukan interpretasi itu sudah tentu tak setuju dengan anggapan tersebut. Kelompok itu akan berpendapat bahwa interpretasi yang ia ajukan sesuai dengan teks agama yang ada. Kenapa teks yang sama melahirkan interpretasi yang berbeda, tentu hal ini disebabkan oleh banyak hal. Salah satu sebab yang relevan di sini adalah konteks sosial atau metode interpretasi yang berbeda. Karena konteks sosial dan metode yang dipakai berbeda, maka muncul mazhab fikih yang berbeda di kawasan Kufah, Madinah dan Irak, misalnya.

Contoh berikut ini menarik kita simak. Hingga abad kedua Hijriyah, kedudukan sunnah atau hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam masih diperdebatkan dengan keras. Imam Syafii (w. 204 H/820 M) menulis karya yang terkenal , “Al-Risalah“, sebagai sebentuk sanggahan terhadap kelompok-kelompok lain yang tak menganggap sunnah sebagai sumber otoritatif dalam penetapan hukum. Dalam “al-Umm“, karya Imam Syafii yang lain, kita jumpai polemik yang cukup hangat antara dia dengan penduduk Madinah, yakni mereka yang mengikuti pendapat Imam Malik. Polemik ini berkisar pada kedudukan sunnah sebagai sumber yang otoritatif. Berkat Imam Syafii-lah kemudian sunnah pelan-pelan diakui sebagai dasar yang mantap untuk menetapkan hukum. Karena itu, ia disebut sebagai “pembela sunnah Nabi”, atau nashir al-sunnah.

Umat Islam yang hidup setelah Imam Syafii dengan mudah melihat sunnah secara taken-for-granted sebagai sumber yang otorittaif dalam Islam. Padahal keadaannya tidak demikian sebelum periode Imam Syafii. Sebelum itu, banyak pihak dalam Islam yang menganggap sumber-sumber lain di luar Quran sebagai lebih otoritatif ketimbang sunnah Nabi. Para sarjana hukum Islam dari kawasan Irak lebih cenderung memakai “pendapat” atau “akal” sebagai sumber yang lebih otoritatif ketimbang sunnah. Penduduk Madinah di bawah kepemimpinan Imam Malik menganggap bahwa tradisi masyarakat Madinah lebih otoritatif ketimbang sunnah Nabi.

Sementara itu, di luar lingkungan “sarjana agama”, kedudukan sunnah juga masih dipersoalkan. Sebuah anekdot yang menarik layak kita sebut di sini, yakni tentang Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam (w. 840 M), salah seorang tokoh penting dalam sekte Mu’tazilah dari aliran Basrah. Al-Nazzam adalah salah satu pemikir Islam klasik yang sangat orisinal dan kreatif, meskipun karya-karyanya tak satupun yang sampai ke tangan kita. Pendapat-pendapatnya bisa kita baca melalui buku-buku doksografi (buku tentang sejarah seke dan aliran dalam Islam), seperti al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani (w. 1153 M), atau karya-karya muridnya sendiri, yaitu al-Jahiz (w. 869 M), seperti “Al-Bayan wa al-Tabyin” dan “Kitab al-Hayawan“.

Al-Nazzam adalah seorang rasionalis tulen yang tidak dengan mudah menerima sebuah hadis begitu saja. Di mata dia, hadis-hadis yang kita terima dari Nabi harus ditimbang dengan akal. Jika hadis-hadis itu bertentangan dengan akal, dia tak segan-segan untuk menolaknya. Karena itu, dia, misalnya, menolak sejumlah hadis yang memuji-muji kucing (al-sinnaur) dan meremehkan anjing (al-kalb). Sebuah hadis terkenal memuji kucing sebagai binatang yang gemar “menggelendot” pada manusia (innahunna min al-tawwafati ‘alaikum), dan karena itu air yang dijilat oleh kucing tidak dianggap kotor atau najis. Sementara itu, anjing dianggap kotor dan najis, bahkan bejana yang dijilat anjing haruslah dicuci hingga tujuh kali menurut sebuah hadis yang terkenal.

Al-Nazzam tidak menerima hadis seperti ini karena, menurut dia, berlawanan dengan akal. Dia, antara lain, mengatakan bahwa manfaat anjing lebih besar ketimbang kucing; kenapa kucing mesti lebih dipuji ketimbang anjing. Kucing gemar memangsa burung yang menjadi mainan anak-anak, sementara anjing justru bisa menjadi binatang pemburu yang bermanfaat bagi manusia. Kucing kerap memangsa binatang dan serangga yang kotor, seperti ular, kalajengking, dan kelelawar. Dengan makanan yang kotor seperti itu, bagaimana mungkin air liur kucing dianggap tidak kotor dan najis? Sementara makanan anjing justru lebih baik dan bersih ketimbang kucing, tetapi air liurnya dianggap najis. Ini jelas tak masuk akal. Kesimpulannya: anjing lebih memiliki manfaat dan gaya hidup yang lebih baik ketimbang kucing. Karena itu, menurut al-Nazzam, hadis yang memuji-muji kucing dan meremehkan anjing ia tolak karena tak masuk akal. (Baca Ahmad Amin, Duha al-Islam, vol. 3, hal. 87, edisi Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Libanon, 2004).

Anekdot tentang al-Nazzam ini saya kutip sekedar untuk memberikan gambaran bahwa kedudukan sunnah dan hadis Nabi tidak sekukuh seperti yang dibayangkan umat Islam saat ini. Ada suatu fase dalam sejarah Islam di mana kedudukan sunnah masih diperdebatkan dengan sengit. Posisi sunnah menjadi mantap karena proses yang berjalan secara berangsung-angsur dan tidak mendadak begitu saja. Dengan metode dan argumen tertentu sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafii, sunnah pelan-pelan menjadi bagian dari doktrin ortodoks Sunni. Tidak semua kelompok dalam Islam tentu menerima argumen Imam Syafii tersebut.

Ortodoksi, sekali lagi, tidak muncul mendadak dan sekali jadi. Ia lahir dalam suatu proses pelan-pelan. Apa yang kita anggap sebagai dogma dalam ajaran Islam saat ini, belum tentu merupakan dogma yang ‘angker’ pada masa-masa awal Islam. Contoh yang baik adalah sejumlah dogma yang dianggap sebagai salah satu kriteria untuk menentukan apakah seseorang menjadi bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau tidak. Ambillah contoh karya ‘Abd al-Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi (w. 1037 M), Al-Farq Bain al-Firaq. Al-Baghdadi adalah salah satu sarjana penting dalam aliran Asy’ariyah. Ia mencoba merumuskan sejumlah dogma standar yang harus dipercayai oleh seorang pengikut sekte Sunni. Ada lima belas dogma standar menurut al-Baghdadi yang harus diimani oleh seluruh umat Islam. Mereka yang tak mempercayai dogma ini adalah sesat. Banyak di antara dogma-dogma itu yang menarik kita telaah kembali. Misalnya, ia mengatakan bahwa seorang Muslim harus percaya bahwa alam raya adalah baru, dalam pengertian diciptakan dalam konteks waktu kronologis (temporally created), atau, memakai istilah yang sering dipakai dalam teologi Islam, “hadits” (Baca Al-Farq, hal. 283, edisi Dar al-Ma’rifah, Beirut, cet. ke-3, 2001).

Dogma lain: seorang Muslim harus mengetahui sifat-sifat Tuhan dengan prosedur penetapan dan argumen seperti dikenal dalam tradisi teologi Islam, terutama tradisi Asy’ariyah. Seorang yang mengingkari sama sekali sifat-sifat bagi bagi Tuhan, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh kelompok Mu’tazilah, Jahmiyyah atau para filosof, adalah sesat dalam standar dogma Sunni sebagaimana dirumuskan oleh al-Baghdadi.

Sebagaimana kita tahu, al-Baghdadi hidup pada ke-11 Masehi atau ke-5 Hijriyah. Pada saat ia hidup, doktrin Asy’ariyah sudah mapan, dan tugas seorang teolog seperti al-Baghdadi adalah mempertahankan dogma itu dari lawan-lawan doktrinalnya. Dogma Sunni yang ia rumuskan jelas sangat dipengaruhi oleh doktrin teologis yang ia anut. Belum tentu dogma yang ia rumuskan ini disepakati oleh sarjana Islam yang lain. Dogma-dogma ini beberapa tahun kemudian dikritik keras oleh Ibn Rushd (w. 1198 M), sebagaimana bisa kita lihat dalam karyanya, al-Kashf ‘An Manahij al-Adillah. Dalam pandangan Ibn Rushd, seorang Muslim hanya dituntut untuk beriman dengan metode yang sederhana seperti terdapat dalam Quran dan sunnah Nabi. Metode pembuktian Tuhan yang sangat rumit sebagaimana dirumuskan oleh kaum Asy’ariyyah bukanlah bagian dari dogma agama. Orang yang beriman tidak dengan cara Asy’ariyah bukan berarti sesat. Metode dan argumentasi teologis yang dipakai oleh kaum Asy’ariyah, dalam pandangan Ibn Rushd, sama sekali tak ada dalam Quran dan sunnah.

Dengan kata lain, apa yang dianggap ortodoks oleh al-Baghdadi tidaklah demikian di mata Ibn Rushd. Kedua sarjana itu mempunyai perspektif yang berbeda mengenai dogma pokok dalam masalah teologi. Kalau kita telaah dengan cermat, kelima-belas dogma yang ia rumuskan itu adalah “temuan belakangan”, bukan sesuatu yang sudah ada pada zaman Nabi sendiri. Boleh jadi sudah ada embrio yang mengarah kepada dogma-dogma itu dalam teks-teks agama, yaitu Quran dan sunnah. Tetapi sebagai dogma resmi dengan rumusan ketat sebagaimana kita lihat dalam bukunya al-Baghdadi, jelas ia adalah “invensi” atau temuan yang dirumuskan belakangan.

Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai dogma ortodoks adalah suatu konstruksi atau susunan yang diciptakan sendiri oleh manusia dengan suatu penalaran tertentu. Dogma itu tidak mesti ada dalam sumber asli. Sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, sumber asli dalam agama mirip dengan sebuah “bahan mentah”. Dari sumber yang sama, pengikut agama bersangkutan bisa melakukan proses “manufaktur” dan melahirkan hal-hal baru yang sebelumnya tak ada dalam teks awal.

Kesimpulan pokok yang hendak saya tuju adalah bahwa selain ortodoksi lahir dalam sebuah proses dan dibuat oleh manusia, suatu dogma menjadi ortodoks juga karena ada orang-orang tertentu yang membuatnya menjadi ortodoks. Dogma-dogma yang dirumuskan oleh al-Baghdadi sebagai ortodoks bukanlah dogma ortodoks pada zaman Nabi dan sahabat sesudahnya. Dogma-dogma itu dianggap ortodoks karena dibuat demikian oleh seorang teolog, yaitu al-Baghdadi, dan kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang sepakat dengan dia.

Dengan kata lain, sebuah ortodoksi bukan semata-mata kata benda, tetapi juga kata kerja. Ia bukan sekedar “ortodoks”, tetapi juga sekaligus “ortodoksifikasi“, jika saya boleh memakai istilah ini, yakni proses suatu dogma menjadi ortodoks. Karena itu, apa yang disebut sebagai ortodoksi adalah sesuatu yang terus mengalami evolusi. Ia tidak ada, kemudian ada, kemudian juga bisa tidak ada lagi. Suatu ortodoksi kerapkali berkaitan dengan konteks tertentu. Ketika konteks itu sudah berlalu, bukan mustahil dogma yang semula dianggap ortodoks itu akan pelan-pelan meleleh, memudar, dan bahkan hilang sama sekali. Sejumlah dogma Sunni yang dirumuskan oleh al-Baghdadi dalam penghukung Al-Farq Bain al-Firaq itu, jika kita baca dalam konteks sekarang, sudah kelihatan “old-fashioned“, atau ketinggalan zaman, dan sama sekali tak nyambung dengan tantangan kontemporer yang diahadapi oleh umat Islam saat ini. Oleh karena itu, umat Islam bisa merumuskan kembali ortodoksi baru, sebab tantangan dan konteks zaman yang mereka hadapi sudah berbeda sama sekali.

Catatan penutup yang layak saya kemukakan adalah berkaitan dengan karakter ortodoksi itu sendiri. Di mana-mana, selalu ada watak inheren dalam ortodoksi yang mengarah kepada “closure” dan “enclosure“, alias ketertutupan dan sekaligus juga penutupan diri. Ortodoksi selalu cenderung eksklusif. Hasil akhir praktis yang muncul dari sana sangat khas, yaitu sikap mudah memandang kelompok yang berasal dari ortodokasi lain sebagai sesat, kafir, murtad, dsb. Dalam terminologi klasik, kita kenal istilah “ahl al-ahwa‘”, yakni orang-orang yang mengikuti “whim” atau kemauan mereka sendiri yang sifatnya subyektif. Kelompok-kelompok yang berpandangan di luar kerangka ortodoksi disebut dengan orang-orang heterodoks yang hanya mengikuti hawa nafsu mereka sendiri. Mereka tak mengikuti standar tertentu yang obyektif sebagaimana dianut oleh pengikut ortodoksi tertentu. Kelompok yang dituduh demikian akan menuduh balik lawannya sebagai pengikut hawa nafsu pula. Terjadilah proses saling menilai yang kadang-kadang berujung pada konflik. Ini semua berasal dari kecenderungan ortodoksi yang selalu mengarah pada penutupan diri.

Gejala semacam ini bukan hanya khas Islam, tetapi juga kita lihat dalam agama-agama lain. Contoh yang terbaik adalah agama Kristen di zaman pertengahan, dan dalam beberapa kasus juga masih berlanjut hingga sekarang. Kecenderungan ortodoksi yang tertutup ini, menurut saya, sudah tak tepat lagi. Kita membutuhkan ortodoksi yang lebih terbuka, dan bisa saling berdialog secara sehat, bukan saling menyesatkan. Semangat zaman yang menandai masyarakat saat ini bergerak ke arah yang sama sekali lain, yaitu semangat multikultural. Oleh karena itu, tak salah jika kita mengharapkan suatu situasi yang lebih “multi-ortodoks”, ketimbang “mono-ortodoks”. Apa yang saya sebut sebagai situasi multi-ortodoks adalah keadaan di mana seseorang bisa saja mengikuti suatu ortodoksi tertentu, tetapi tetap membuka diri pada ortodoksi lain. Kelompok lain tidak serte merta dituduh sebagai heterodoks.

Situasi ini, di mata saya, jauh lebih sehat dan sesuai dengan semangat zaman.[]

Boston, 15 September 2008
Read more!

Jabar

Monday, August 25, 2008

Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama Di Jawa Barat
Oleh Ingwuri Handayani

Harus diakui, bahwa diskriminasi dan intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat masih memprihatinkan. Banyaknya kasus pelanggaran ini, sebagaimana dilansir oleh jaringan kerja Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (Jaker PAKB2) saat melakukan sosialisasi di hotel Mitra, 9 Juni 2008 kemarin.

Pemantauan yang dilakukan selama enam bulan ini, setidaknya menemukan hasil demikian: satu orang tertusuk saat ingin melakukan mempertahankan akidahnya, adanya diskriminasi pencatatan nikah sejumlah 111 kasus, adanya diskriminasi di tempat kerja yang mengakibatkan terhambat kenaikan pangkat, penolakan tugas karena berbeda akidah, adanya kasus pelarangan aliran kepercayaan (di Jawa Barat sendiri, sedikitnya ada 6 aliran kepercayaan).
Jaker juga menemukan adanya penutupan fasilitas umum seperti radio, penutupan ruang pertemuan, penolakan pembangunan televisi swasta, serta pelanggaran lain seperti pembakaran masjid hingga 12 kasus, penutupan tempat ibadah secara paksa yang mencapai 57 kasus, pelarangan aktifitas beribadah seperti naik haji 6 kasus, dan pengrusakan rumah yang mencapai 80 buah rumah.

Temuan lain adalah adanya diskriminasi terhadap hak layanan publik seperti pencatatan KTP atau akte kelahiran anak berdasar agama, melakukan pembatasan dalam hak kebebasan beragama seperti mengeluarkan produk hukum seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk beberapa daerah.

Dalam soal keamanan, kesan pembiaran juga masih muncul. Ini belum soal seperti pemaksaan kehendak, yang bisa ditemukan di beberapa ormas islam atau orang yang tidak satu agama atau satu akidah.

Meski diskusi terbatas, ruangan yang hanya di isi oleh 40 kursi itu berjalan cukup seru. Masing-masing pihak, berusaha memberikan tanggapan atas temuan yang didapat oleh 12 pemantau jaringan kerja untuk yang melakukan pemantauan.

Dari sekian bentuk diskriminasi ini, Jaker sendiri membagi dalam dua bentuk. pertama, pelanggaran secara langsung yang dilakukan oleh negara dan kedua, tindakan dari aktor non negara

Jaker sendiri, mulai melakukan pemantauan dari bulan Oktober 2007. Selama enam bulan, 12 orang pemantau yang diterjunkan ke masing-masing wilayah di Jawa Barat bergerak untuk mengumpulkan data dengan berbagai cara. Biasanya, pemantau mencari dari media masa yang kemudian mencari turun ke lapangan guna melakukan observasi atau wawancara.

Sebagaimana dikatakan oleh Suryadi Radjab, koordinator SC Jaker, prinsip dari lembaga ini adalah berdiri di atas prinsip non diskriminasi. Lembaga ini menjaga agar perbedaan itu tidak menjadi halangan untuk hidup damai dan tolong menolong. 12 pemantau sendiri, adalah wakil dari enam lembaga PBHI jawa barat, Fahmina cirebon, LBH Bandung, GKP, JIMM, dan Desantara. Keenam lembaga ini ada di wilayah Jabar.

Berbagai Tanggapan
Tanggapan datang misalnya dari Kabid Binkum Polda Jabar, Yanuar Prayoga, SH . Ia mengatakan bahwa ada kesan, laporan yang disampaikan oleh Jaker, polisi melakukan pembiaran. Padahal sebenarnya tidak bermaksud begitu. Tetapi, ada prosedur yang harus dipakai sehingga, terkesan, polisi terlihat lambat.

Tanggapan juga datang dari kejaksaan tinggi (Kajati) Jawa Barat. Melalui wakilnya, Teten Setiawan, kajati mengatakan bahwa acuan dari segala sesuatu adalah undang-undang tertulis seperti misalnya, UU 1/PNPS/1965. “Dan itu harus ditaati walau kita tidak setuju. Barangkali pemahaman ini perlu disamakan jangan sampai seolah negara melanggar,” kata Teten.

Ia juga mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran itu terpaksa dipidana. Sementara, kalau seseorang dimutasi di lembaga tertentu berdasar agama, seharusnya yang bersangkutan bisa menggugat lewat lembaga itu. Ia juga mengatakan bahwa, misalnya, kalau UU no. 1/PNPS/1965 kontroversial, ada perangkat yang bisa dipakai seperti Mahkamah Konstitusi yang menguji undang-undang. “Jadi perangkat untuk uji undang-undang sudah disediakan. Jadi mungkin kita harus mencerna undang-undang itu lebih baik lagi,” sambung dia.

Sementara dari Kanwil Hukum dan Ham, Ria Anggraini menegaskan bahwa Inti permasalahannya, kita terburu-buru emosi dan ribut soal perbedaan, tapi belum pernah Ahmadiyah yang dianggap sesat diajak duduk bersama. Benarkah mereka melanggar akidah? Apakah ada pembicaraan dari hati ke hati dengan pihak Ahmadiyah? Jadi tidak tiba-tiba terjadi pengrusakan dan sebagainya, tandasnya.

Dari Kesbangpol Saefudin juga memberikan pandangan. Mengenai kekerasan terhadap agama lain tentu Pemda sangat menentang, hanya saja perlu dipahami akar masalahnya, seperti pembangunan gereja itu ada aturannya seperti SKB. Ini untuk menjaga ketertiban, seperti di Bali ingin membangun masjid harus ada tandatangan 100 keluarga, tapi muslim di sana ternyata muslim yang patuh. Asal taat saja pada ketentuan tidak akan terjadi keributan. Kami melakukan tindak prefentif, FKUB kami bentuk untuk hal itu, tapi jangan dipahami itu muslim saja. Jadi intinya kita taat pada ketetntuan, semunya dengan kepala dingin, bentuk kekerasan apapun pemerintah menentangnya.

Selain dari lembaga, beberapa tokoh masyarakat juga menyampaikan sikapnya. Kang Dina dari Akur, misalnya, ia menyatakan bahwa UUD dan pancasila adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Maka, ia bersiap untuk membela pancasila dan UUD jika ada yang mengganggu dasar negara ini.

Senada dengan akur, Asep, dari lembaga pagar nusa yang merupakan badan otonom NU, menyatakan bahwa sikap pemerintah dengan lahirnya SKB dinilainya diskriminatif. Ia juga menegaskan, seharusnya bukan Ahmadiyah yang dibubarkan tetapi lembaga yang selama ini melakukan kekerasan atas nama agama.

Beberapa Catatan
Atas temuan-temuan itu, Jaker sendiri, melalui sekretaris SC, Gatot memberi beberapa catatan. Pertama, dilanggarnya praktek kebebasan beragama di Jawa Barat, juga menimbulkan persoalan lainnya.

“Kita menangkap kecenderungan dari forum ini bahwa kita punya kesadaran utuh bahwa kebebasan beragama jadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya sehingga bisa diselesaikan dengan baik,” sambungnya.

Direktur LBH bandung itu juga memberi catatan bahwa, Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional sehingga negara memiliki berkewajiban untuk memperbaiki produk undang-undangnya termasuk praktek jaminan bahwa kebebasan agama yang merupakan hak dasar, tidak boleh dicampuri.

Catatan berikutnya yang ia sampaikan adalah, seharusnya diusahakan adanya forum-forum lain yang dari situ diharapkan mampu membangun keyakinan yang utuh. Dan proses akan terlaksana jika pemerintah memfasilitasi. Ia juga menggarisbawahi bahwa, falsafah negara sudah jadi pegangan dasar oleh bangsa Indonesia hingga tidak boleh diganggu gugat.

Catatan terakhir, jaker berharap bahwa forum ini akan terus terbangun sehingga ke depan, persoalan di Jawa Barat bisa dikoordinasi dengan baik dan terjadi proses pemikiran yang baik pula hingga rekomendasi dari Jawa Barat ini, bisa disampaikan ke pusat.

Penulis pemantau Jaker PAKB2. dari Desantara
Read more!

Agustus

Refleksi Agustusan
Oleh Bahrul Haq Al-Amin

Hajat Agustusan jaman sekarang jarang sekali ditinggalkan. Momentum kemerdekaan negara Republik Indonesia itu menjadi sarana rakyat untuk menghempaskan segala kepenatan hidup sebagai warga negara Indonesia. Ada harapan dan keyakinan mendalam, bahwa bumi Indonesia ini masih mungkin semakin maju dan memakmurkan rakyatnya.

Ekspresi tersebut terakumulasi dalam serangkaian gegap gempita kebebasan dan kemeriahan layaknya bendera kemerdekaan yang baru saja direbut dari penjajah. Sepanjang pengalaman heroik dan qudus tersebut, adakah ibrah yang dapat diambil darinya?

Wajah Demokrasi di Agustusan
Pelajaran sesungguhnya yang dapat diambil dari agustusan adalah harapan akan demokratisasi yang lebih nyata. Hipotesis ini mendapat dukungan dari fakta bahwa partisipasi warga dalam mensukseskan agustusan teramat besar. Meski belum didukung data penelitian yang valid, saya berani mengatakan bahwa acara agustusan bahwakan mengalahkan seremoni lainnya seperti Pemilihan Umum. Padahal, acara agustusan seringkali diadakan lewat swadaya warga sendiri, bahkan nyaris tanpa perlu sosialisasi mahal untuk mensukseskannya. Hal yang cukup jauh berbeda dibandingkan dengan Pemilihan Umum.

Saya akui bahwa membandingkan antara agustusan dan pemilu menunjukkan hal lainnya yang lebih substansial. Pemilu tidak lain adalah bentuk prosedural dari demokrasi. Keberadaannya wajib ditempuh sebagai prasyarat hadirnya demokrasi pada standar minimalnya. Namun, lebih jauh dari itu, nyatanya prosedural saja tidaklah ukup. Agustusan menjadi fenomena unik yang sepertinya mencitrakan dirinya sebagai elemen substansi demokrasi. Antara lain, kebebasan, partisipasi, non-diskriminasi, jaminan hak, kerelaan, dan kedermawanan. Meski menunjukkan wajah demokrasi yang teramat lugu dan kecil, namun sesungguhnya aksi di bulan agustus ini memelihara kebutuhan dan idealitas bangsa Indonesia akan hadirnya demokrasi yang lebih substansial

Memang kita akui bahwa kesadaran seperti ini seakan masih tertidur dalam pusaranya sendiri. Untuk itu, perlu dihadirkan elemen lain, semacam anasir, yang bertugas mengingatkan dan membangunkan kesadaran tersebut dari tidur dan mimpi panjangnya. Bahwa negara ini sudah merdeka, itu pasti, namun bangsa ini belum penuh menikmati demokrasi. Eleme tersebut sangat pantas ditempati oleh para cendekiawan dan civil society. Mereka itulah yang paling mudah ditempatkan sebagai ujung tombak pemulihan kesadaran massif bangsa Indonesia. Bagaimana dengan negara dan political society lainnya? Mereka untuk sementara ini tampaknya malah menempati posisi sebagai aktor antagonis dan menjadi wabah berbahaya yang mengancam keberlangsungan demokrasi. Mereka yang tidak lain merupakan eks antek Orde Baru masih ingin mengeruk kekeyaan negara ini. Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah politisi kawakan menjadi indikator mutlak atas hal ini. Karenanya, tugas cendekiawan dan civil society untuk kembali menekan berjalannya saluran-saluran demokrasi yang sempat bocor di mana-mana. Dalam hal ini, rakyat sendiri sebaiknya tidak mudah menyerah dan berbalik mencurigai demokrasi.


Non-Diskriminasi
Semangat kemerdekaan adalah semangat non-diskriminasi. Kolonialisme dahulu dengan kejam merampas semangat kesetaraan di antara sesama manusia. Ada hirarki kejam yang berusaha dipelihara oleh kolonialisme tersebut. Demi meraih segala idealita hidup penuh kesetaraan dan non-diskriminasi, leluhur kita dulu berjuang segenap jiwa untuk merebut kemerdekaan yang didambakan dari para penjajah.

Saat ini, kita sudah melampaui perjuangan melelahkan tersebut. Namun, kesetaraan dan prinsip non-diskriminasi masih jauh panggang dari api. Terdapat banyak aktor intelektual dan ideologis kontemporer yang tampak belum rela melepaskan Indonesia dari cengkeraman ketidakadilan. Keadilan dan kesetaraan yang menjadi harapan, diselimuti oleh sekat ideologis, religius, dan pragmatis. Akibatnya, terlihat di kehidupan sehari-hari, bangsa kita sangat mudah terprovokasi dalam menanggapi segala perbedaan yang muncul di masyarakat. Maka, apakah kita akan tetap membiarkan segala kekeliruan ini berlangsung?

Prinsip non-diskriminasi dikebiri oleh egoisme intelektual dan ideologis yang menginginkan keseragaman. Padahal, kodrat kehidupan manusia di alam bumi adalah keragaman. Pengebirian intelektual dan ideologis ini malah telah sampai pada tataran praktis. Perusakan dan kekerasan fisik terlihat di mana-mana, saat warga terprovokasi dalam menghadapi realitas keragaman yang nyata telah lama berlangsung di Indonesia.


Kebebasan
Inginnya kebebasan tetap melengkapi keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sayangnya, istilah multitafsir ini sulit ditemukan dalam keadaan utuh di sorga Indonesia ini. Kerakusan ideologis memelintir istilah kebebasan menjadi “bebas kumaha ceuk urang”. Demokrasi pun dimanipulasi menjadi sekedar mayoritarian. Padahal, demokrasi semestinya lebih berwajah substansial, di mana hak dan kebebasan setiap warga mendapat jaminan dari negara. Kurang puas dengan hal itu, beberapa oknum ideologis memaksa sejumlah pimpinan daerah untuk menuruti kehendak komunal mereka. Prinsip netralitas dan non-diskriminasi terpaksa digadaikan oleh para pimpinan daerah demi menyelamatkan kepentingan pragmatis mereka sendiri. Di sinilah perselingkuhan kekuasaan terjadi yang mengakibatkan korban kemanusiaan dalam sejarah umat manusia.

Maka kebebasan mendapat sorotan dan hujatan lagi. Setelah memelintir kebebasan, kepentingan mereka menyudutkan kebebasan sebab mereka anggap memiliki potensi memecah belah. Padaha yang terjadi ialah bahwa ada tangan-tangan tidak bertanggungjawab yang membiaskan kebebasan demi kepentingan kelompoknya sendiri.

Lalu kebebasan semestinya mendapat sambutan seperti apa? Kebebasan mendapatkan pembatasan dengan kebebasan lainnya. Kebebasan seseorang tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. Batasan legal atas kebebasan juga dapat ditentukan lewat legalisasi hukum yang adil. Kebebasan internal manusia yang tidak secara langsung bersentuhan dengan publik jelas mutlak harus mendapat perlindungan. Sedangkan, kebebasan eksternal yang menyentuh wilayah publik dapat dibatasi sepanjang tetap mempertahankan prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan.


Cendekiawan-Aktifis
Satu model gerakan yang berusaha saya tawarkan di sini dalam menyikapi beberapa problema di atas ialah model cendekiawan-aktifis. Suatu framework yang peduli pada problem aktual bangsa Indonesia dengan tetap mendasarkan pada prinsip-prinsip universal. Model gerakan yang tidak mudah termakan rayuan keabadian dan ketamakan. Model yang berani berjalan sendiri menjalani pengalaman siksaan dan cemoohan. Menentang kepemimpinan demi kerakyatan. Demi kebebasan, kesetaraan, non-diskriminasi, keadilan dan nir-kekerasan. Wallahu'alam bis Showab

Bahrul Haq Al-Amin, menapaki hidup sebagai aktifis di ibukota, bersama Jaringan Islam Kampus Jakarta. Mahasiswa UIN Jakarta yang lahir 23 tahun lalu di Kota Banjar ini sebelumnya lama menikmati aktifisme bersama HMI MPO Cabang Jakarta Selatan. Merindukan perdamaian di bumi Indonesia dan pulang kampung ke Kota Banjar tercinta.
Read more!

Dawam

Dawam Rahardjo: Demi Toleransi dan Pluralisme
Oleh Saidiman

Prof Dr Dawam Rahardjo genap berusia 65 tahun pada 20 April 2007. Ulang tahun itu dirayakan oleh kawan-kawan dan murid-muridnya pada tanggal 4 Mei 2007 di Auditorium Universitas Paramadina. Mas Dawam (panggilan akrabnya) adalah satu dari beberapa intelektual muslim awal (sejak tahun 1960-an) yang sangat intens memperjuangkan ide-ide kebebasan dan pluralisme di Indonesia.

Beberapa yang lain adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Djohan Effendi. Sementara yang lain telah lebih dulu meninggal, seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Wahib.
Mereka inilah yang bisa disebut sebagai pembuka jalan bagi gagasan kebebasan dan pluralisme yang sekarang banyak berkembang di kalangan pemikir-pemikir muda Islam. Para pemikir yang sezaman dengan mereka juga banyak yang telah mengusung gagasan itu, namun fokus bahasan mereka tidak dalam konteks keislaman, terutama dalam tataran normatif-teologis, tetapi pada aspek yang lebih umum terkait dengan persoalan kebangsaan.

Pada perayaan ulang tahun itu juga sekaligus diluncurkan sebuah buku, Demi Toleransi, Demi Pluralisme, yang berisi kumpulan tulisan 31 tokoh yang berasal dari kalangan intelektual, pe77tinggi partai, agamawan, aktivis LSM, dan lain-lain yang semuanya adalah teman dan murid Dawam.

Beragam tema dan latar belakang penulisnya memperlihatkan betapa Dawam merambah beragam isu sepanjang karier intelektualnya. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada ini tidak hanya mahir menganalisa ekonomi, tapi juga sangat piawai bicara Islam, pluralisme, sosiologi, antropologi, filsafat, sastra, feminisme, studi perdamaian, dan lain-lain. Dawam bahkan bisa disebut sebagai perintis perkembangan beberapa teori ilmu sosial di Indonesia, seperti memperkenalkan teori dependensia dan studi perdamaian.

Infrastruktur Intelektualisme
Tak bisa disangkal, Dawam memberikan sumbangan paling besar dalam membangun infrastruktur intelektualisme Indonesia. Dawam adalah satu di antara segelintir orang Indonesia yang merintis pembangunan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sampai saat ini menjadi pusat-pusat aktualisasi para intelektual Indonesia.

Dawam telah membangun dan mendirikan sejumlah LSM ternama yang menjadi pusat kegiatan intelektual, seperti LP3ES, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), P3M, Paramadina, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan menjadi petinggi Muhammadiyah.
Dawam juga mengomandoi kelahiran dua jurnal terbesar yang pernah ada di Indonesia, yaitu Prisma (LP3ES) dan Ulumul Qur’an (LSAF). Lembaga-lembaga ini kemudian melahirkan tokoh-tokoh intelektual termuka Indonesia, yang sebagian besarnya mengaku sebagai murid dan teman Dawam Rahardjo.

Merekalah yang kemudian mengisi hampir semua debat pemikiran dan intelektual Indonesia sepanjang tahun 1990-an sampai sekarang. Sebagian dari mereka menjadi guru besar dan doktor di pelbagai bidang kajian.

Sebagai intelektual yang sekaligus aktivis, Dawam tampak tidak pernah bisa diam terhadap fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Dawam menjadi tipikal intelektual yang selalu kukuh di satu sudut pendirian dan keyakinan tertentu. Dawam bahkan tak segan-segan mengambil posisi yang tidak populer sejauh itu tidak bertentangan dengan keyakinannya.

Pada masa mahasiswa, tahun 1960an, ketika kebijakan politik nasional di bawah Soekarno meminggirkan “Islam,” Dawam bersama beberapa temannya mengambil posisi tegas membela kepentingan kelompok Islam yang saat itu marginal. Dawam tanpa sungkan muncul sebagai aktivis dan pemikir muda Islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang saat itu terancam oleh provokasi politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhir tahun 1960-an, ketika kekuatan Orde Lama (PNI dan PKI) dimusuhi, Dawam dan kawan-kawannya tak segan-segan memberi dukungan terhadap penyelesaian tragedi pembantaian anggota PKI di seluruh Indonesia.

Pada saat itu pula, Dawam semakin kritis terhadap HMI yang mulai menunjukkan tanda-tanda sektarian dan politis. Ketika masuk ke jajaran kepengurusan Muhammadiyah, Dawam kembali menunjukkan sikap kritisnya terhadap semua persoalan yang ia anggap tidak tepat.

Dicoret dari Posisi
Beberapa tahun terakhir, ketika bangsa Indonesia sedang berada dalam euforia demokrasi dan kebebasan, beberapa kelompok masyarakat, dengan mengatasnamakan kebebasan, mencoba melakukan represi terhadap kelompok yang lain. Mayoritarianisme menjadi ancaman bagi kaum minoritas.

Dawam, di usia yang tidak muda lagi, tampil sebagai pembela kebebasan yang sangat gigih. Dawam bahkan tak segan-segan melakukan demonstrasi dan pembelaan terhadap pelbagai kasus yang menimpa kaum minoritas.

Di antara kelompok-kelompok yang mendapat advokasi langsung dari Dawam Rahardjo akibat diskriminasi yang mereka terima adalah Jamaah Lia Eden, Jamaah Ahmadiyah, kalangan Syi’ah, Jaringan Islam Liberal, kalangan Kristen dan Katolik yang dihancurkan gerejanya, dan kelompok minoritas lainnya.

Tak ayal, pembelaan Dawam ini menempatkannya sebagai tokoh yang banyak dimusuhi oleh kalangan mayoritas. Dengan pertimbangan itu pula, Dawam dicoret dari posisi pimpinan Muhammadiyah (organisasi masyarakat terbesar kedua di Indonesia).

Posisi Dawam ini berlandaskan kepada prinsip pluralisme nilai. Bagi Dawam, kebenaran tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak, melainkan tersebar di banyak tempat. Setiap orang dan kelompok memiliki hak atas klaim kebenaran. Kebenaran tidak tunggal, tetapi banyak.
Universalisme kebenaran kerapkali menjadi dasar bagi munculnya sikap dan prilaku otoritarian. Prinsip kebebasan yang diperjuangkan oleh Dawam juga tidak dalam pengertian universalisme, melainkan pluralisme.

Kebebasan ala universalis mengandaikan bahwa kebebasan harus diperjuangkan meski harus menindas kebebasan orang lain. Menyerang negara orang lain dengan alasan penyebarluasan kebebasan tidak bisa diterima. Semua orang memiliki kebebasan untuk hidup, bahkan mereka yang menginginkan belenggu sekalipun harus diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang ia inginkan.

Jikapun kaum pluralis mengklaim universalisme, universalisme yang dimaksud adalah sesuatu yang isinya adalah keragaman. Pengakuan terhadap keragaman atau ketidaksamaan itulah yang universal, bukan nilai kehidupan tertentu.

Itulah sebabnya, Dawam bisa mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan pendapat kalangan Ahmadiyah dan Lia Eden, tapi ia berdiri paling depan membela kepentingan mereka, bahkan menjadi salah satu tokoh nasional pertama yang bersedia berdialog dengan mereka.
Apa yang dilakukan oleh Dawam adalah sesuatu yang ideal bagi bangsa Indonesia yang memang plural. Sayang, orang seperti Dawam tidak banyak yang bisa dijumpai. Selamat ulang tahun Mas Dawam.

Penulis adalah peneliti Forum Muda Paramadina.
Read more!

Dilema

Wednesday, August 20, 2008

Dilema Keragaman Islam
Oleh Ahmad Sahidin

KONON, ada seseorang yang menginginkan baju yang di masa kanaknya dipakai kembali di masa dewasa yang sudah berbeda ukuran tubuhnya. Secara logika, tentu tidak bisa dipakai kembali karena ukuran baju tersebut sudah berbeda dengan ukuran tubuhnya.

Dan jika dipaksakan akan tersiksa karena baju itu kekecilan. Lalu, bagaimana caranya agar baju itu bisa terpakai olehnya? Hanya satu pilihan : membeli kain dengan warna yang sama, lalu dijahit sesuai dengan desain/pola yang sama persis dengan baju yang diinginkannya dan disesuaikan dengan ukuran tubuhnya.

Ini hanya ilustrasi yang saya kaitkan dengan persoalan Islam di masa sekarang,terutama masalah penerapan syariat Islam yang tak henti-hentinya digembar-gemborkan beberapa harakah di negeri ini. Dan kita sebagai sesama muslim dianjurkan berdialog dengan penuh kearifan (hikmah) dengan caa yang bijaksana pula. Maka atas dasar itulah tulisan ini dihadirkan.

Untuk mengawalinya, saya berpijak pada persoalan sumber utama Islam yaitu al-quran (wahyu) terlebih dahulu. Karena yang menjadi titik pokok berbagai pesoalan Islam muncul di masa sekarang ini adalah disebabkan kurangnya pemahaman teerhadap kalamullah yang sesuai dengan hakikatnya.

Saya sebagai orang awam beranggapan, wahyu atau kalamullah adalah pedoman sekaligus perangkat dalam menjalankan kehidupan bagi manusia agar teratur dan sejahtera di dunia dan akhirat. Yang saat diturunkannya dari “langit” tidak serta merta semuanya tetapi bertahap. Kenapa? Karena ia adalah petunjuk, pedoman dan aturan yang turun atas respon realitas sosial-kultur-geografis dan jiwa zaman masyarakat di waktu itu. Yang bermakna sebagai arahan dan bimbingan hidup yang mesti dilekatkan, layaknya baju sebagai pelindung dari serangan alam dan memperindah bentuk tubuh; atau–dalam bahasa agama–untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang a-moral, a-susila, dehumanis dsb.

Tentang hal ini, ada catatan sejarah Arab abad enam masehi, yang saat itu masyarakatnya gandrung dengan perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Meminum-minuman keras adalah salah satu kebiasaan yang digandrungi saat itu. Karena minuman keras itu mengakibatkan “ketidaksadaran” sang peminum yang kemudian berani berbuat dan bertindak yang tidak semestinya, maka turunlah aturan berupa “ayat-ayat” dari Tuhan melalui utusan/pilihan-Nya yang menceritakan bahayanya “khamr” dan kemudian disusul dengan perintah pelarangan terhadap minuman yang memabukkan. Yang sama halnya dengan adanya aturan untuk menutup seluruh tubuh perempuan (kecuali telapak tangan dan muka). Secara konteks sosial, turunnya aturan tersebut menurut mufasir Ibnu Katsir dan Imam Zarkasyi bahwa, perempuan pada masa itu terbiasa dengan keadaan telanjang dada dan leher tanpa kain yang menutupinya. Sehingga tampak jelas urat-uratnya dan bagian sekitarnya, bahkan mereka senang menjulurkan kain ke belakang–mungkin yang sedang ngetrendnya begitu–hingga membuat laki-laki berani menarik perempuan secara paksa demi memenuhi hasratnya. Masih menurut mufasir tersebut, bahwa model pakaian seperti ini dipakai Hindun Bin Utbah dan perempuan elit lainnya, semata-mata untuk memberikan semangat juang ke para lelaki yang hendak berperang. Terutama saat perang uhud, mereka menjanjikan akan memberikan tubuhnya kepada lelaki yang berhasil meniadakan pembawa berita Tuhan, yaitu Nabi Muhammad Bin Abdullah yang dianggap telah merobohkan tatanan sosial-ekonomi-budaya dan agama yang berlaku saat itu. Itulah sebabnya Tuhan menurunkan surat an-Nur ayat 31, yang memerintahkan untuk tidak memamerkan perhiasan dan disuruh untuk menjumbaikan kerudung (khimar) ke bagian kantong-kantong dada perempuan muslim (khususnya istri-istri Nabi) sebagai pembeda dengan perempuan musyrikin. Ayat itulah yang kemudian merevisi tradisi berpakaian perempuan Arab tanpa menetapkan corak, warna, model dan jenis busana tertentu (lihat Qs. al-ahzab : 59). Dan yang ditekankan dalam konteks ayat tersebut adalah faktor moral, kebersahajaan dan upaya antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang bersifat merugikan. Maka atas konteks historis ini, jelas bahwa persoalan busana yang sesuai dengan syariat Islam bukan yang berlaku seperti muslimah Arab, tetapi busana yang tidak mengumbar syahwatnya dan sekaligus dapat mencegah terjadinya tindakan yang merugikan perempuan.

Persoalan selanjutnya adalah berkaitan dengan konstruksi budaya pathrialkal yang mendominasi. Hal ini saya temukan pada salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang merasa malu ketika mendapatkan anak perempuan hingga menguburnya hidup-hidup. Ini menunjukkan bahwa tradisi Arab yang dominan saat itu, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan adalah milik laki-laki. Sedangkan perempuan adalah simbol kelemahan dan hanya dijadikan pemuas syahwat laki-laki. Bahkan yang paling menakjubkan adalah tradisi menaikkan derajat manusia, yaitu bila seorang suami yang ingin mendapatkan keturunan ningrat atau bangsawan, ia harus mengirim istrinya untuk tinggal sekaligus berhubungan badan/kelamin (jima) dengan orang yang dimaksud sampai hamil. Dan bila istrinya itu melahirkan anak laki-laki (dari hasil persetubuhannya itu) akan dianggap berbakti hingga tidak sungkan-sungkan diberi kalung dan gelang sebagai hadiah. Karena, bagi mereka, dengan lahirnya anak laki-laki itu derajat seseorang akan sekelas/selevel ningrat atau bangsawan tersebut. Budaya pathrialkal ini yang menjadikan sebuah keyakinan teologis bahwa Tuhan, atau Penguasa dan Pencipta langit dan bumi serta isinya disimbolkan dengan bentuk huruf kata ganti tunggal laki-laki seperti “HU”, “LAHU”, “AL -LAHU”, “HUWA” dan lain-lain. Maka tidak heran bila kita menemukan dalam beberapa ayat al-Qur`an, terutama dalam surat al-ikhlas ada term-term bahasa tersebut, yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dominasi budaya lokal Arab saat itu.

Fenomena di atas itulah yang bagi saya perlu dicermati, seandainya saudara-saudara kita tetap bersikukuh bahwa “baju” yang telah berumur seribu lima ratus tahun harus berlakukan di Indonesia. Sebab seperti yang telah saya kemukakan di atas bahwa hadirnya wahyu dari Allah sangat berkenaan dengan konteks sejarah dan tradisi lokal Arab. Karena kehadirannya merupakan respon terhadap “masalah-masalah” kemanusiaan yang terjadi saat itu, maka yang paling mungkin adalah mengambil “pesan-pesan” substantif yang terkandung di dalamnya. Artinya, kita harus memilah mana unsur-unsur lokalitas Arab abad enam-tujuh masehi dan mana pula yang benar-benar disebut “nilai dan ajaran” yang diturunkan dari Allah.

Persoalan yang berhubungan dengan al-Quran dan Ummat Islam adalah perbedaan tafsir yang mengakibatkan lahirnya beberapa sekte dalam Islam. Ada bebarapa sekte (firqah) yang memperdebatkan tentang tafsir perbuatan baik dan buruk manusia. Pertama, sekte Jabariyah yang berpandangan bahwa segala sesuatu yang diperbuat manusia, terlepas apakah itu baik maupun jelek, adalah telah ditentukan di lauhmahfudz. Dalam hal ini, manusia ibarat wayang yang digerak-kendalikan sang dalang. Apapun tindakan dan perbuatan manusia, sesungguhnya bebas dari tanggung jawab pelakunya. Sebab yang paling bertanggung adalah yang menggerakkan atau mentakdirkannya begitu. Ada beberapa ayat al-Qur`an yang menjadi argumen mereka yaitu, …tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Qs. al-Hadid :22);…sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (Qs.at-Thariq : 3);…maka Allah menyesatkan siapa pun yang Dia kehendaki….(Qs.Ibrahim : 4) dsb. Sekte kedua adalah Qadariyah. Kelompok ini berpendapat sebaliknya dengan pandangan Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa, manusia adalah yang bertanggung jawab atas segala tindakan maupun perbuatannya. Menurut mereka, karena Allah telah menurunkan aturan haq wa bathil yang terdapat dalam al-Qur`an, maka manusia bebas untuk menentukan sekaligus memilih dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan pilihannya itu. Jika ia berbuat jelek (bathil) atau tidak mengikuti perintah-perintah Allah maka neraka sebagai balasannya. Begitu pun sebaliknya, jika ia berbuat baik (haq) atau menjauhkan diri dari larangan-larangan Allah akan mendapatkan surga sebagai imbalannya. Ayat yang dijadikan argumen mereka yaitu, …sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika mereka tidak mengubah keadaan yang ada pada mereka sendiri (Qs. ar-Ra`du : 11);…Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (Qs. al-Ankabut : 40);…katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman,dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir (Qs. al-Kahfi : 41).

Persoalan itu berlanjut pada sekte-sekte selanjutnya. Salah satunya kelompok Asy`ariyah yang berpendapat, bahwa makna (hakikat) etika manusia sangat ditentukan Allah. Maksudnya, barangsiapa yang bertindak selaras dengan kehendak dan perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur`an, maka ia berakhlak. Adapun mereka yang tidak selaras dengannya adalah imoral atau tidak berakhlak. Pendapat ini berbeda dengan kelompok Mu`tazilah, yang menyatakan bahwa semua perintah Allah adalah benar adanya dan sifat benarnya terpisah dari perintah Allah Swt. Maksudnya, agama memang berperan dalam menyediakan tata-aturan (etika) dan menunjukkan bagaimana seharusnya kita memikirkan tugas-tugas kita; sedangkan “hakikat” dari tugas kita itu sesungguhnya ditentukan bukan dengan agama tetapi oleh pelaku etika itu sendiri. Maka menurut kelompok Mu`tazilah, Allah harus memberi pahala semua perbuatan baik; dan jika tidak memberi pahala, berarti Allah telah berbuat tidak adil. Konsekuensinya, Allah Swt tidak punya pilihan lain kecuali mengganjar segala perbuatan baik dan buruk yang dilakukan manusia. Pemahaman Mu`tazilah inilah yang kemudian dibantah balik kelompok Asy`ariyah, bahwa Allah mampu melakukan apa saja. Termasuk menyiksa dan memasukkan orang yang tidak berdosa (atau yang berbuat baik) ke neraka dan memberi pahala dan memasukkan mereka yang berdosa ke dalam surga. Ini bukan kezaliman. Karena semua tindakan yang dikehendaki Allah adalah adil menurut Allah dan Allah betul-betul Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Inilah kenyataan sejarah yang begitu kontroversial terjadi di antara para mutakallimun (teolog-agamawan) yang muncul sejak perang Siffin dan pasca arbitrase (tahkim) antara ahlul bayt (yang dipimpin Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunan dan kerabat Rasulullah Saw) dengan ahlul sunnah (yang pimpin Muawiyah Bin Abu Sufyan beserta mereka yang kembali pada ajaran jahiliyah) pada tahun 658 Masehi, di Adzrah, padang pasir Syiria. Dampaknya adalah perpecahan ukhuwah-Islamiyah yang terbagi dalam beberapa sekte seperti Khawarij, Sunni, Syi`ah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, Asyariyah, Mu`tazilah, Maturidiyah, Ikhwanus Shafa, Murabithun, Muwahidun; sampai awal Abad Modern yang memunculkan gerakan tajdiyah (puritanisme) seperti Pan-Islamisme dan Wahabiyah di Timur Tengah, yang keduanya telah berpengaruh ke Indonesia dalam melahirkan gerakan Persatuan Islam/PERSIS, Muhammadiyah, Jamiatul Khoir, Syarekat Islam dan lain-lain; serta gerakan anti-puritanisme seperti Syiah Imamiyah di Iran dan Nahdhatul Ulama (NU) di Indonesia serta di kawasan-kawasan lainnya.

Atau sekarang muncul dua model Islam. Pertama, model Islam fundamental-radikal yang bercorak tekstual dalam memahami wahyu dan ingin menghadirkan “Islam-ideal” masa Rasulullah Saw. Kedua, model Islam liberal-plural yang bercorak kontekstual dalam memahami wahyu dan berorientasi ke depan.

Mana yang benar dari mereka dalam memegang dan menjalankan agama? Wallohu a`lam bi showab adalah jawabannya. Namun sejarah telah membuktikan bahwa dampak dari perdebatan itu telah menelan korban yang berakhir dengan darah dan caci-maki yang mencerminkan hilangnya nilai-nilai Islam. Kelompok Khawarij membunuh Imam Ali Bin Abi Thalib; Mu`tazilah membantai dengan cara mihnah pada kelompok yang tidak sepakat dengannya; Murabithun menghancurkan kelompok Muwahidun; Wahabiyah mengkafir-bid`ah-musyrikkan golongan lain.

Inilah budaya solipsis-apostasisme yang masih melekat. Ini terjadi dikarenakan tidak adanya pemegang “otoritas-agama” yang sah dan diakui secara menyeluruh oleh Ummat Islam sejak wafatnya Rasulullah Saw (tahun 632 Masehi) hingga sekarang. Juga berkaitan dengan tidak komprehensif dan holistiknya mereka dalam mengkaji dan memahami kalamullah wa sunnaturrasulillah. Terutama pada aspek sejarah, asbabul nuzul, konteks zaman, faktor dan kondisi yang dihadapi saat turunnya al-Qur`an dan keluarnya hadits maupun sunnah dari Nabi Muhammad Saw.

Bukankah al-Qur`an turun secara berangsur-angsur? Artinya, ayat-ayat yang diturunkan dari Allah berkaitan dengan konteks sejarah dan sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi saat itu. Bahkan kodifikasi al-Quran yang seharusnya sesuai kronologis turunnya al-Quran adalah salah satu dari sekian hal yang menimbulkan pertentangan, paradoks dan konflik-konflik teologis. Sejarah mencatat bahwa mushaf al-Quran yang beredar di Ummat Islam (yang diawali surat al-fatihah dan diakhiri surat al-anas) adalah disusun atas dasar pengetahuan dan ijtihad (politis) Utsman bin Affan yang saat menjadi khalifah banyak yang menentangnya. Sehingga tidak dapat diingkari ketika merujuk pada kalamullah tampak paradoks satu sama lain (seperti kutipan ayat yang diambil sekte Qadariyah dan Jabariyah di atas). Jelas, yang paling bertanggung-jawab atas berbagai realitas yang tragis dan memilukan serta memalukan sejarah adalah sang kodifikator, Utsman Bin Affan. Andaikata mushaf disusun secara kronologis sesuai dengan asbabul nuzul dan konteks zamannya, maka akan terhindar dari perdebatan kontroversial yang tragis maupun terus berkelanjutan sampai kini.

Tetapi persoalannya tidak selesai begitu saja. Sebab yang menjadi persoalan kemudian adalah tafsir. Persoalan tafsir harus diakui sangat penting dan tidak selesai seperti membalik telapak tangan. Terbukti sejak pasca wafat Rasulullah hingga sekarang masih tetap kontroversial. Pada konteks ini seorang intelektual muslim asal Pakistan, yaitu almarhum Fazlur Rahman, telah menganjurkan dalam proses penafsiran harus dipahami melalui konteks zaman dan historisitas hadirnya wahyu. Tentu kita harus merujuk pada nash-nash otentik dan kemudian ditafsirkan sesuai konteks sekarang. Jika ini tidak dilakukan, maka cerita-cerita penindasan TKW / TKI di Arab Saudi, ketidakberdayaan karena tidak bisa beraktivitas melakukan pekerjaannya dan kemiskinan di Afghanistan dan Pakistan yang disebabkan tidak berfungsinya beberapa anggota tubuh akan kian bertambah di dunia Islam. Meskipun itu akibat perbuatannya, tetapi bukankah hukuman diberlakukan bertujuan untuk membuat “jera” para pelaku dan yang hendak mengikutinya, tanpa “mematikan” hidup dan kehidupan di pasca hukumannya itu. Karena itu nash-nash perlu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks kemanusiaan, edukatif, akhlakul karimah dan bukan yang sebaliknya.

Artinya, dalam memahami nash-nash haruslah sebagaimana (mestinya) “pesan-pesan” dan “nilai-nilai” yang diinginkan oleh yang menurunkan wahyu, atau oleh yang berhak menentukan otoritas tafsir tersebut. Bagi umat Islam-Syi`ah yang ada di Iran tentu tidak ada masalah karena yang menentukan semua persoalan agama dan keislaman adalah Imam min ahlulbait; yang secara teologis merupakan pelanjut kepemimpinan Islam setelah Rasulullah. Namun bagi kita, yang lazim disebut Islam-Sunni tidak punya konsep wilayatul faqih, karena yang kita akui adalah konsep syuro.

Dulu memang ada ulama-ulama yang kredibelitasnya tidak diragukan, tetapi sekarang di Indonesia, yang ada hanya “ulama-ulama istana” yang nilai keulamaannya jauh dari ajaran-ajaran Rasulullah. Inilah masalah lainnya yang perlu disikapi dan cermati jika benar-benar ingin membuktikan bahwa al-islamu ya`lu wala yu`la alaih.
Read more!